Judul di atas adalah salah satu status yang pernah saya tulis di dinding media sosial saya. Apakah pilihan katanya benar atau tidak menjadi soal sebab sepenggal kalimat tersebut muncul secara spontan ketika sedang mengikuti acara karnaval beberapa waktu lalu.
Yang membuat saya terggelitik untuk membuat tulisan ini karena beberapa teman saya mengomentari status saya, walaupun keinginan menulis tentang hal ini sudah pernah terbesit sejak lima tahun lalu.
Aktivitas karnaval yang terjadi di Waingapu, menjadi moment yang ditunggu-tunggu. Khususnya dari institusi pendidikan, siswa-siswi dari sekolah-sekolah yang memiliki perangkat drum band akan giat berlatih. Segala macam hal yang berkaitan dengan penampilan drum band dipersiapkan dengan matang.
Persiapan dari insrtumen lagu yang akan di bawakan, dan juga bagaimana melakukan kekompakan menabuh perangkat tersebut. Selain itu yang paling penting, (mungkin) adalah bagaimana harus berbusana yang disertai dengan goyangan badan.
Dari tahun ke tahun yang telah lewat, penampilan drum band selalu menjadi perhatian utama. Selain karena suara drum band yang bergemuruh, tapi karena busana mereka yang menjadi tontonan menarik. Teman saya berkomentar di status saya, “Itu udah satu paket pak, biar segeeerrr“.
Jika komentar teman saya mewakili asumsi kita, maka tanpa kita sadari kita telah berkontribusi untuk menciptakan generasi yang tidak lagi mengenali identitasnya. Sekolah yang sebenarnya menjadi tempat untuk menciptakan generasi yang berkarakter baik, malah sebaliknya sekolah menjadi tempat untuk memuluskan eksploitasi siswa-siswi peserta drum band.
Mayoret sebagai leader dalam barisan drum band, tidak lagi memberi contoh yang baik. Mayoret menjadi perhatian utama, karena selain tampilan polesan make-up yang memang harus lebih dari yang lainnya, ia juga harus bisa bergoyang erotis untuk mengudang decakan para penonnton. Jika penonton berteriak nakal dari pinggir jalan untuk memintanya mengulaginya, mayoretnya harus memenuhi permintaan itu demi memuaskan mata para penonton.
Disela-sela waktu istrahat, saya membisiki teman saya yang memakai kacamata riben. Sambil bercanda saya mengatakan, ”Asyik ya pak, manfaat kacamata riben selain memberi rasa teduh pada mata saat terik begini, kacamata riben juga memberi keleluasaan pada mata untuk bergerilya sepuas-puasnya”.
Kita semakin terbuai bahwa apa yang ditampilkan oleh sang mayoret dan barisan drumbandnya adalah hal yang wajar. Bahkan ketika berada di depan para penjabat pemerintah daerahpun, goyangan yang tidak sopan itu kita aminkan saja karena mata kita juga terbuai dengan gerakan-gerakan sang mayoret.
Semestinya kita harus berani mengambil kebijakan untuk memberikan teladan yang berkarakter pada generasi kita. Meniru cara-cara atau pola-pola budaya luar sungguh tidak cocok dengan kultur budaya kita di Sumba.
Alangkah indahnya jika barisan drum band selain membawakan lagu-lagu kebangsaan untuk membangkitkan patriotisme, para penabuh drum band berbusana pakaian daerah. Busana yang demikian malah tidak kalah menariknya, jika perlu dimodifikasi sesuai kebutuhan. Sopan dan memberi nilai-nilai filosofi sesuai dengan budaya kita.
Dan jika kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang mana karnaval adalah pawai dalam rangka pesta perayaan (biasanya mengetengahkan bermacam corak hal yang menarik dari yang dirayakan).
Apakah kita sudah melakukan itu? Apakah hal-hal yang berkaitan dengan perayaan hari kemerdekaan sudah muncul dalam karnaval?
Semoga tahun-tahun berikutnya kita akan memunculkan hal-hal yang berkaitan dengan kemerdekaan, bahwa kita sedang merayakan kemerdekaan dari penjajahan masa lampau, bukan kemerdekaan yang membebaskan kita untuk mengeksploitasi budaya luar melalui generasi kita.
Selamat hari kemerdekaan RI ke-70.